Belajar dari pengalaman masa lalu, pendekatan pembangunan ekonomi dalam rangka mendayagunakan keunggulan kompartif dan keunggulan bersaing perlu perubahan dari pembangunan pertanian kepada pembangunan agribisnis, dimana industri hulu, industri hilir dan sektor pendukung/penunjang yang menyediakan jasa yang diperlukan dikembangkan secara simultan dan harmonis.
Struktur perekonomian Indonesia selama ini masih didominasi oleh sektor pertanian dan sektor tersebut menjadi sektor utama pembangunan nasional. Strategi pembangunan sektor pertanian diarahkan melalui pertama, perubahan orientasi produk ke orientasi pasar; kedua pembanguanan sektor industri diawali dengan titik berat pada industri pengolahan hasil pertanian.
Dalam melaksanakan kegiatan di bidang agribisnis tentu tak lepas dari adanya kebijakan (policy) yang merupakan seperangkat keputusan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan atau daerah dalam bidang tersebut guna mempengaruhi nilai jual komoditas (pertanian) dalam menghadapi mekanisme pasar. Kekuatan pasar dapat menentukan harga komoditas dan selanjutnya ketetapan harga ini dapat berpengaruh terhadap pendapatan dan kesejahteraan petani. Hanya saja disamping harga jual, bagi petani masih ada faktor penentu yang lain sebagai konsekuensi karena pembelian input yaitu biaya. Akibatnya kombinasi antara harga jual dan harga input menjadi faktor determinan bagi pendapatan riil petani. (Budi,2002)
Pada umumnya kendala dalam pengembangan agribisnis khususnya komoditi pertanian di Indonesia dalam suatu subsistem yaitu;
1. pengadaan bibit bermutu, pupuk, obat-obatan
2. teknologi budidaya atau sektor produksi
3. pasca panen dan pengelolahan
4. pemasaran
5. sektor pendukung (permodalan, transportasi)
6. kualitas SDM
Satu sektor tergantung pada sektor yang lain, tidak terpisahkan. Karena itu penanganan semua sektor bersama dan terpadu merupakan program yang harus dilakukan oleh semua masyarakat di dukung oleh pemerintah yang ingin mengangkat ekonomi daerah melalui agribisnis produk pertanian.
Langkah-langkah yang diperlukan untuk mempertemukan berbagai unsur yang terlibat dalam pengembangan sektor pertanian (tanaman, hewan, ikan) sebagai berikut:
a. Pengusaha yang telah memiliki market share di pasar Dalam Negri dan atau Luar Negri membuka kontak dengan para buyer dan petani.
b. Memberikan kepastian pembelian yang menguntungkan petani, terutama kontinyuitas, kualitas, dan kuantitas.
c. Para petani memproduksi sesuai dengan kebutuhan pasar dengan menggunakan teknologi yang dimiliki dan dikuasai.
d. Sektor pendukung, khususnya keuangan dan distribusi dapat melihat peluang untuk memberikan dukungan.
Dalam membuat langkah tersebut, pemerintah daerah harus berfungsi sebagai fasilitator, untuk membangun keberdayaan sektor pertanian. Langkah terobosan yang mungkin dilakukan adalah dengan pola sinergi antara pemerintah, perguruan tinggi, pelaku bisnis, dan petani. Langkah tersebut dapat berupa pembangunan pasar induk suatu komoditi tertentu, pembangunan pusat rekayasa genetika, pembangunan pusat teknologi terapan, dan lain-lain.
Ada semacam pandangan yang menyatakan bahwa kemampuan petani untuk menghasilkan produk yang berkualitas dengan tingkat produktivitas yang tinggi sulit dicapai. Pandangan tersebut tidak sepenuhnya benar, secara umum petani memiliki kemauan dan kemampuan untuk menghasilkan produk yang berkualitas dengan produktivitas tinggi, dan beberapa teknologi budidaya sudah dimiliki petani. Disisi lain mengapa sampai saat ini produksi yang dihasilkan oleh petani masih rendah produktivitasnya, sehingga menyebabkan daya tawar petani menjadi sangat rendah. Hal ini menjadi tugas kita bersama untuk bersatu padu dalam upaya tersebut atau kita akan tersapu oleh produk luar negri sejenis yang memiliki kualitas bagus, kuantitas yang terjaga dengan harga lebih murah.
Selanjutnya bagaimana perekonomian pertanian dapat meningkat, haruslah disadari bahwa dalam kondisi tersebut hanya sektor agribisnis yang dapat diandalkan dan diharapkan mampu menjadi Leader Sector.
Pada subsistem agroindustri misalnya, pengembangan instrumen product development dan product deferentiation melalui teknologi pengolahan tertentu, pengemasan, distribusi dan pengembangan mutu produk menjadi faktor yang sangat penting untuk meningkatkan nilai tambah bagi produk agribisnis.
Pada subsistem pemasaran misalnya, pengembangan market information dan market intelligent menjadi sangat penting untuk membuka dan mengembangkan pasar agribisnis, sekaligus mencermati dinamika pasar sebagai akibat perubahan parameter tertentu, seperti selera konsumen, pesaing pasar dan sebagainya.
Produktivitas berkaitan erat dengan teknologi. Teknologi sangat bergantung kepada kesiapan SDM, sehingga SDM dan teknologi ibarat dua sisi mata uang yang sama. Keduanya merupakan unsur penggerak inti (driving forces) untuk peningkatan produktivitas agribisnis. Oleh karenanya, upaya untuk memantapkan daya saing agribisnis akan sangat berkaitan dengan karakteristik pengembangan SDM dan teknologi sebagai suatu strategi (human capital and technology led development strategy). Disadari sepenuhnya bahwa fungsi produksi akan bergeser kearah yang tinggi dengan daya kompetitif yang semakin mantap manakala terdapat realokasi faktor-faktor produksinya dalam menanggapi dinamika-dinamika yang senantiasa terjadi. Dua unsur utama realokasi tersebut adalah kualitas SDM dan teknologi (Budi, 2002).
Seringkali ditemui keunggulan komparatif berbagai komoitas hanya akan mengahasilkan sosok agroindustri yang handal karena tinggi produktivitasnya, akan tetapi tidak efisien dalam sistem agribisnisnya, sehingga daya saingnya rendah. Pada umumnya, penampilan sosok agribisnis di Indonesia (dan juga di JawaTimur) adalah refleksi kondisi tersebut di atas. Sebagai contoh klasik adalah, bahwa produktivitas hasil padi Jawa Timur mungkin paling tinggi di Asia, akan tetapi ketidak efisienan kelembagaan mengakibatkan harga padi kita tidak mampu bersaing di pasar internasional. Hal ini hampir sama terjadi pada berbagai komoditas lain seperti tebu, dan lainnya. Jawaban umum dari persoalan di atas bersumber pada masih banyaknya kegiatan yang bersifat ekonomi biaya tinggi (high cost economy), yang umumnya bersumber pada berbagai distorsi (leakage), misalnya distorsi harga bahan baku akibat struktur tata niaga, ketidak sempurnaan pasar (imperfect competition), biaya eksternal (external cost/shadow cost), keterbatasan infrastruktur, struktur kelembagaan ekonomi yan dualistis (modal, teknologi, keterampilan manajemen dan spesialisasi), kelangkaan SDM berkualitas, serta jaringan pemasaran yag masih terbatas. Selanjutnya infrastruktur iklim makro mendukung seperti kondisi moneter, politik keamanan serta permasalahan perundang-undangan pendukung (seringkali belum konsisten, kurang transparan, masalah pengawasan) dan keberpihakan pada ekonomi rakyat tidak lugas serta kinerja pelayanan publik yang kurang efisien telah melengkapi sifat-sifat buruk di atas (Rudi Wibowo, 2001).
Pembangunan sistem agribisnis yang mendayagunakan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang yang beragam di setiap dan antar daerah, akan berdaya guna apabila pengelolanya dilakukan secara lokal dan lebih mengedepankan partisipasi dan kreatifitas rakyat dan organisasi ekonominya di setiap daerah. Peranan pemerintah baik pusat maupun di daerah diarahkan untuk memberdayakan dan memfasilitasi tumbuhnya kreatifitas rakyat (Saraih, 2001).
(Sumber: 'Manajemen Agribisnis' oleh Hary Sulaksono, SE, MM)